Rubrik

Selasa, 09 Desember 2014

NU Senantiasa Berjihad Bagi Indonesia

Judul tulisan ini bukan “NU Senantiasa Berjihad bagi Islam dan Indonesia”, karena dalam kata Indonesia sudah implisit ada kata Islam. Berjihad bagi Indonesia untuk umat Islam menurut saya secara otomatis sudah mencakup pengertian berjihad bagi Islam. Tentu saja harus dijaga jangan sampai ada pertentangan antara kedua aspek itu.


Bersama komponen bangsa yang lain, tokoh, warga dan organisasi NU telah memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia. Peran itu dimulai dari kegiatan menanam dan menumbuhkan jiwa kebangsaan. KH Hasyim Asy’ari, KHA Dahlan dan pemuda dari berbagai daerah di Nusantara yang belajar di Mekkah memulai merajut anyaman kebangsaan yang akhirnya terwujud sekian puluh tahun kemudian.

Pada pertengahan 1930-an KHA Wahab Hasbullah mulai ikut dalam berbagai kegiatan di Surabaya bersama sejumlah tokoh antara lain HOS Tjokroaminoto, yang merupakan langkah awal kegiatan NU dalam bidang politik berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah itu berdirilah MIAI yang bertujuan untuk menyatukan langkah ormas Islam dalam perjuangan kemerdekaan.

KH Wahid Hasyim yang mewakili KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin Shumubu di Jakarta pada 1943, mulai berinteraksi dengan tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta dll. Tokoh-tokoh NU aktif dalam kegiatan mendirikan Lasykar Hisbullah dan Fi Sabilillah yang nantinya merupakan salah satu unsur dalam pembentukan TNI selain PETA dan anggota KNIL.

Selanjutnya tokoh-tokoh NU juga ikut dalam proses merumuskan pembukaan dan batang tubuh UUD yang menjadi landasan kita dalam bernegara, yang merupakan pengejawantahan secara fisik bangsa Indonesia. KHA Wahid Hasyim ikut didalam Panitia Sembilan bersama Bung Karno, Bung Hatta, H Agus Salim, Mohamad Yamin, Subardjo, Abikusno Tjokrosujoso, AA Maramis, Kahar Muzakkir yang merumuskan Piagam Jakarta yang kemudian dibatalkan lagi oleh tokoh-tokoh Islam bersama Bung Hatta pada 18 Agustus 1945. Oleh banyak pihak Panitia Sembilan itu dianggap sebagai Bapak Bangsa Indonesia.

Ketika tentara Belanda kembali ke bumi Indonesia dengan mendompleng pasukan Sekutu, para ulama dan pimpinan NU mendapat informasi tentang upaya Belanda itu dari jaringan warga NU. Kepekaan dan kewaspadaan para pemimpin NU terhadap potensi ancaman itu membuat mereka mampu melakukan antisipasi terhadap ancaman dahsyat yang akan bisa menghancurkan negara yang baru berumur sangat muda.

Kepekaan dan sikap tanggap itu berbuah langkah antisipatif yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945 yang kita kenal sebagai Resolusi Jihad. Sebelumnya pada 17 September 1945, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad yang berbunyi seperti berikut:
(1) Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun fakir (2) Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid
(4) Hukumnya orang yang memecahkan persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh. Pada 22 Oktober 1945, PBNU mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad yang menguatkan Fatwa Jihad Hadratussyekh.

Tindakan itu sungguh adalah suatu langkah strategis organisasi NU dan penamaan yang tepat yaitu Resolusi Jihad. Itulah satu-satunya jihad dalam arti perang yang pernah dialami bangsa Indonesia. Warga NU yang pernah bertempur dengan warga PKI pada 1948 saat terjadi Peristiwa Madiun tentu menganggap bahwa mereka juga berjihad. Demikian pula mereka yang pernah konflik fisik dengan warga PKI pada 1965.

Organisasi dan tokoh NU tidak pernah sekalipun ikut dalam tindakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, atas nama agama atau apapun. Tokoh dan organisasi NU sering memberi kritik keras terhadap Pemerintah atau Presiden. Hal itu memang menjadi kewajiban PBNU. Dalam era Orde Lama, Mbah Bisri dan Pak Yusuf Hasyim termasuk yang kritis terhadap Bung Karno, bahkan Pak Imron Rosyadi (Ketua Umum GP Ansor) sempat ditahan beberapa tahun oleh Bung Karno. Pada awal Orde Baru Pak Subchan ZE amat kritis terhadap Pak Harto. NU yang masih merupakan partai politik adalah satu-satunya parpol yang ditakuti oleh Pemerintah. Sikap kritis itu dan cita-cita untuk mendirikan negara berdasar Islam membuat Pemerintah mengambil kebijakan yang membuat PNS dari kalangan NU harus memilih aktif di organisasi NU atau tetap menjadi PNS. Fasilitas pendidikan yang memakai lambang NU banyak yang terpaksa melepasnya.

Gus Dur pada awal 1990-an bersikap kritis terhadap Pak Harto yang otoriter melalui keterlibatan di berbagai organisasi dan LSM. Sikap berani itu membuat Gus Dur menjadi tokoh utama masyarakat sipil. Posisi itulah yang membuat Gus Dur akhirnya diminta menjadi Presiden pada 1999.

Perbedaan pendapat tentang hubungan agama dengan negara merupakan masalah yang sejak awal berdirinya Republik Indonesia menjadi ganjalan. Rais Aam Syuriyah PBNU KH Bisri Syansuri memimpin perjuangan untuk menolak RUU Perkawinan yang bertentangan dengan syariat Islam. Perjuangan itu berhasil memasukkan ketentuan syariat Islam dalam hal perkawinan atau pernikahan kedalam UU. NU juga menyetujui UU Peradilan Agama.
Tokoh-tokoh Islam sadar bahwa tanpa memakai Islam sebagai dasar negara, ternyata kita bisa memasukkan ketentuan syariat Islam kedalam sistem hukum nasional Indonesia.

Setelah hampir 40 tahun usia negara RI, kembali NU berjihad (berjuang dengan keras) untuk menyelesaikan masalah tersebut. Alhamdulillah Tim yang dibentuk oleh PBNU dan dipimpin oleh almaghfurlah KH Ahmad Siddiq berhasil menyusun dokumen bersejarah berjudul “Hubungan Islam dan Pancasila”. Dokumen itu dipaparkan dalam Munas Ulama NU pada Desember 1983 dan diterima oleh Muktamar NU 1984.

Dokumen tersebut berisi hal-hal seperti berikut: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia, bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila Ketuhanan YME sebagai dasar negara Republik Indonesia yang menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan didalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekwensi dari sikap diatas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekwen oleh semua pihak.

Penerimaan NU terhadap Pancasila itu kemudian diikuti oleh ormas Islam dan satu-satunya partai Islam yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Kebijakan itu memberi akibat menyusutnya jumlah pemilih partai politik Islam dan meningkatkan jumlah pemilih partai menengah. Tetapi kebijakan itu telah menyelesaikan masalah hubungan antara Islam dan Indonesia, sehingga tidak akan mengalami seperti yang terjadi di Mesir pada saat ini.

Sepanjang sejarah Indonesia, terlihat dengan nyata bahwa NU bersama Muhammadiyah telah
menjadi pilar utama dari masyarakat sipil Indonesia. Bersama kekuatan masyarakat sipil lainnya NU akan terus berjuang mengawal negara Republik Indonesia dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Disaat seperti kini ketika parpol-parpol yang ada tidak mampu memikul amanah rakyat, seyogyanya NU dan Muhammadiyah tampil untuk berjihad secara kontekstual.

Selama usianya yang panjang, warga, tokoh dan organisasi NU telah berjihad sesuai jatidirinya sebagai ormas Islam yang aktif dalam bidang pendidikan. Lebih dari 25.000 pesantren, ribuan sekolah dasar, sekolah menengah dan sejumlah universitas adalah wujud nyata dari jihad organisasi, tokoh dan warga NU dalam bidang pendidikan. NU juga ikut berjihad dalam bidang kesehatan dengan mendirikan rumah sakit dan klinik. Kedepan diharapkan kiprah dan pengabdian itu dapat lebih ditingkatkan.

Yang masih belum banyak bisa dilakukan oleh tokoh, warga dan organisasi NU ialah jihad di bidang ekonomi, baik yang fokus pada pemberdayaan warga ataupun dalam bentuk mendirikan badan usaha. Sudah ada contoh nyata dari jihad di bidang ekonomi yaitu di Pesantren Sidogiri. Prestasi Sidogiri itu perlu diikuti oleh pesantren lain, walaupun tidak mudah.

Dakwah anti radikalisme Islam secara fisik yang dikemas dalam semboyan Islam rahmatan lil alamin, perlu ditingkatkan dari bentuk dakwah bil lisan menjadi dakwah bil hal. Untuk itu kita
perlu meningkatkan kemampuan dalam bidang penggalangan, penghimpunan dan penyebaran dana ZIS. Kunci utamanya ialah kemampuan memperbaiki organisasi NU yang memang masih lemah. Potensi ZIS Indonesia baru sekitar 10-15% yang bisa kita gali. LAZ yang besar umumnya dikelola oleh kawan-kawan PKS. Prasyarat untuk bisa melakukan penggalian potensi itu ialah memlilih pimpinan eksekutif NU yang punya karakter eksekutor dan punya kemampuan organisasi yang baik.

Dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan mutakhir, tokoh, warga dan organisasi NU perlu meningkatkan jihad dalam masalah sosial keagamaan. Dakwah yang perlu diberikan ialah menggarisbawahi peran sosial Islam, bahwa ibadah mahdhah umat Islam tidak hanya memenuhi kewajiban agama, tetapi juga harus punya dampak positif terhadap perilaku umat.

Jumlah dhuafa di Indonesia amat banyak dan sebagian besar adalah umat Islam, bahkan umumnya mereka warga NU. Kalau berdasar pada standar Bank Dunia -yang punya penghasilan $ 2/orang/hari- jumlahnya sekitar 50%. Menurut saya, mereka itu amat mungkin mengalami kekurangan gizi. Berdasar hasil survei, pada 2010 35,6% anak-anak di Indonesia punya tinggi badan dibawah rata-rata. Kalau fisik mereka kontet, pertumbuhan otak mereka juga kurang baik. Bonus demografi tidak banyak manfaatnya. Menurut saya, kalau kita tidak membantu para dhuafa dalam mengatasi masalah kekurangan gizi itu, amat mungkin kita termasuk orang yang mendustakan agama seperti yang dijelaskan dalam surah al Ma’un.

Apa yang dikemukakan dalam alinea diatas adalah sejalan dengan UUD pasal 28 yang memuat hak-hak asasi manusia, baik hak sipil politik maupun hak ekonomi sosial dan budaya. Pasal 28 A : setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28 B ayat 2: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kalau masih banyak sekali warga negara yang masih kekurangan makan, kebijakan pemerintah bertentangan dengan pasal 28 UUD.

Penulis: Salahuddin Wahid
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Berita Terlaris

Translate