Di bulan suci Ramadhan seringkali kita mendengarkan kajian-kajian hikmah seputar ibadah puasa. Biasanya ibadah puasa dianalisis secara deduktif dari al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga memunculkan dan melahirkan beberapa aspek hukum yang terkait dengan puasa.
Namun tidak
jarang juga para penceramah meninjau ibadah puasa dalam berbagai perspektif dan
dianalisis secara induktif dari korelasi dan signifikansi puasa dengan
kehidupan sehari-hari umat Islam saat menjalankannya. Misalnya, ada yang
mengkaji aspek-aspek kesehatan yang ditimbulkan dalam ibadah puasa. Ada juga
para ustadz yang menyampaikan hikmah-hikmah puasa dalam sudut pandang
spiritualitas, sosialitas, kesehatan jiwa umat manusia dan lain sebagainya.
Pada
kesempatan ini penulis ingin mengelaborasi lebih jauh tentang manifestasi
nilai-nilai Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam ibadah puasa. Hal ini
dirasa penting karena kita sebagai kaum Nahdliyiin (baca: warga NU) perlu
menyadari bahwa nilai-nilai Aswaja harus benar-benar inheren dan
terinternalisasi dalam setiap pribadi orang NU. Antara NU dan aswaja merupakan
satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Aswaja merupakan akidah bagi
orang NU di mana dan kapan saja berada.
Sebagai
warga NU, jika tanpa akidah Aswaja tentu ke-NU-annya hanya nama dan topeng
belaka. Eksistensi NU, Aswaja dan Tanah Air Indonesia (baca ; nusantara) adalah
tiga serangkai yang saling terkait dan berkelindan satu dengan lainnya. NU
merupakan ormas terbesar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di wilayah NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan berdasarkan pada akidah Aswaja.
Dengan
demikian, mayoritas Islam Indonesia (baca ; Islam Nusantara) adalah Islam
Aswaja, dan Islam Aswaja tercermin jelas pada Islam NU, Islam NU adalah
Islamnya orang-orang Indonesia yang menganut paham Aswaja (Ahlus Sunnah wal
Jamaah) yang selalu berprinsip pada nilai-nilai dasarnya yaitu ; al-Tawazun
(bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh
(bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran).
Keempat
prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja di atas merupakan empat pilar warga NU
dalam ber-aswaja (ber-Islam), berbangsa dan bernegara. Empat pilar al-Tawazun
(bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh
(bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) sama sekali
tidak bertentangan dengan empat pilar bangsa Indonesia ; Pancasila, UUD 1945,
NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, bahkan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar
Aswaja warga NU tersebut selalu menafasi dan menopang terhadap empat pilar
bangsa Indonesia. Hal itu, sudah terbukti dalam sejarah perjuangan rakyat
Indonesia, baik pada pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan bahwa warga NU
selalu berada pada garda terdepan dalam membela Pancasila, UUD 1945, NKRI dan
Bhineka Tunggal Ika secara istiqomah dengan tetap berprinsip pada nilai-nilai
dasar Aswaja.
Keempat
prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja ; al-Tawazun (bertindak
seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh
(bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) merupakan
metode berfikir yang paripurna bagi warga NU dalam kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara.
Berpijak
pada keempat prinsip itulah warga NU menjalankan ajaran Islam, berbangsa dan
bernegara Indonesia, hidup berdampingan dengan umat beragama lain dan bersikap
toleran baik antar umat beragama dan intern umat Islam. Dengan keempat prinsip
dan nilai-nilai dasar Aswaja tersebut, para ulama NU menyatakan, “resolusi
jihad melawan penjajah, Indonesia merdeka berkat rahmat Allah, NU menerima asas
tunggal Pancasila, Hubungan Islam dan NKRI sudah final dan tidak perlu lagi
membentuk negara Islam, NU kembali ke Khittah dan lain sebagainya.
Kembali pada
manifestasi nilai-nilai Aswaja dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadhan jika
kita renungkan lebih mendalam, maka sangat terasa nilai-nilai al-Tawazun
(bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh
(bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran)
terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan
al-sha-imaat).
Pertama; al-Tawazun
(bertindak seimbang)
Dalam ibadah
puasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang) tercermin sekali pada
aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada
aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan
rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak
terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang
berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan
pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi
(harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca;
psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul
manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan
terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya. Agar pribadi manusia seimbang
secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split
personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk
rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur
atas segala nikmat yang dikaruniakan Allah SWT.
Sedangkan
pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia
berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua
makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon
berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika
autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana
seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana
seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang
ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan
sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan
lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia
menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan
(al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada
orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera
dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa
kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana
laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi
seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua ; at-Tawassuth
(berprilaku moderat)
Sikap
tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalah at-Tawassuth
(berprilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara
materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah dalam
kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak
perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun.
Dan yang
kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap
aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr),
sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikap at-Tawassuth
(berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi
dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.
Ketiga; al-Tasamuh
(bersikap toleran)
Ajaran at-Tasamuh
mengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka
memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan
pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas
pada pribadi orang-orang yang berpuasa. Misalnya, Adanya perbedaan penetapan
awal Ramadhan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh
toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah
rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.
Bahkan sikap
toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan
menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan
menghormati. Nilai al-Tasamuh (bersikap toleran) bagi warga NU
Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama,
berbangsa dan bernegara. Tidak sekedar pada saat bulan puasa, bahkan di luar bulan
ramadhan pun Islam NU tetap mengimplementasikan nilai-nilai Islam Aswaja yang
nota bene Islam Indonesia.
Keempat: al-I’tidal
(berpihak pada kebenaran)
Ajaran al-I’tidal
(berpihak pada kebenaran) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada
hal-hal yang lurus, benar dan tepat. Nilai al-I’tidal (berpihak pada
kebenaran) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa secara
spiritual berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada olah kesucian
rohani, dan berpuasa merupakan ibadah ilahiyah yang tertuju khusus dan
terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT bukan untuk selain-NYA.
Dalam ibadah
puasa manusia konsisten mensucikan diri untuk mendekatkan ruhnya kepada yang
Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu memuji Allah SWT (bertahmid )
dan membesarkan nama Allah SWT (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari
pujian-pujian yang pada hakekatnya pujian itu hanya milik Allah SWT
Begitu juga
dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Allah SWT bukan ingin
membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan materi duniawi yang tidak
kekal abadi. Bertitik tolak dari konsistensi nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal)
tersebut maka pasti berdampak positif pada sikap yang adil dan konsisten
terhadap diri manusia sendiri, keluarga dan masyarakat demi menjadikan
pribadinya yang sholeh secara individual dan sekaligus sholeh secara sosial.
Selain itu, berakibat baik juga dalam menciptakan keluarga yang sakinah
mawaddah dan rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negaranya yang
ber-keadilan sosial bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
- nu.or.id -
Tidak ada komentar :
Posting Komentar